Tantangan berat perbankan di 2014
Oleh
Herry Prasetyo, Nina Dwiantika, Issa Almawadi, Adhitya Himawan - Kamis, 26
Desember 2013 | 11:28 WIB
Pertumbuhan industri perbankan di
tahun 2014 diperkirakan semakin lambat. Tahun depan, tantangan industri
perbankan kian berat lantaran likuiditas semakin ketat, sementara risiko kredit
bermasalah meningkat.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan,
pertumbuhan kredit perbankan tahun depan hanya di kisaran 15,3%-16,6%. Angka ini
jauh di bawah perkiraan pertumbuhan kredit tahun 2013 di kisaran 20,8%.
Gubernur BI, Agus Martowardojo,
mengatakan upaya stabilisasi ekonomi yang diperkirakan masih akan berlangsung
hingga 2014 menjadi alasan penurunan angka pertumbuhan kredit perbankan.
Pelambatan pertumbuhan penyaluran kredit juga dipicu kenaikan suku bunga
perbankan.
Alih-alih agresif, bank akan
bersikap konservatif. Sebagian besar bank memilih mengerem laju pertumbuhan
kredit dan memasang target pertumbuhan sesuai proyeksi BI.
Pahala N. Mansuri, Direktur Keuangan
Bank Mandiri, mengatakan rata-rata pertumbuhan kredit tiga tahun terakhir
mencapai 24%. Tahun 2014, sudah saatnya pertumbuhan kredit melambat di kisaran
15%-17%. Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja, mengatakan
kredit sektor konsumer seperti kredit properti dan kredit kendaraan bermotor
pada tahun depan akan tersendat akibat kebijakan pengetatan loan to value (LTV)
yang dirilis BI.
Selain kredit melambat, bank juga
menghadapi dua tantangan besar pada tahun depan. Direktur Bank Jabar Banten,
Bien Subiantoro, mengatakan likuiditas yang semakin ketat menjadi tantangan
utama perbankan di tahun depan. Banyak dana nasabah institusi keluar dari
sistem perbankan lantaran dialihkan untuk membeli surat utang negara (SUN) demi
mendongkrak yield. Alhasil, likuiditas semakin seret dan persaingan
memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) makin ketat.
Thila Nadason, Pjs Presiden Direktur
Bank Internasional Indonesia (BII), mengatakan likuiditas pada tahun depan
semakin ketat lantaran langkah The Federal Reserve melakukan tapering off.
Alhasil, likuiditas akan kembali lari ke luar negeri.
Menurut Pahala, pengetatan
likuiditas sudah terlihat dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang
melambat dua tahun terakhir. Sebagai gambaran, tahun 2011, penghimpunan DPK
industri perbankan masih tumbuh 19%. Tahun lalu DPK cuma naik 15%. Risiko
kekeringan likuiditas makin meningkat sejak BI mengerek bunga acuan (BI rate)
Juni 2013 lalu.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
memperkirakan, pertumbuhan DPK tahun depan hanya naik 14,1%. "Bank kecil
paling terpukul efek kekeringan likuiditas," kata Doddy Ariefianto, Head
of Economic and Banking System Risk Division LPS.
Risiko NPL meningkat
Karena itu, perang suku bunga
simpanan masih akan berlangsung hingga tahun depan. Bank akan berlomba
menawarkan suku bunga deposito setinggi-tingginya untuk menggaet dana nasabah.
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Pengawas Perbankan, Nelson
Tampubolon, mengakui likuiditas perbankan menjadi persoalan potensial tahun
depan. Ia khawatir, saat kondisi ekonomi makro memburuk, bank saling menahan
diri memberikan pinjaman di pasar uang antarbank (PUAB).
Untuk mengantisipasi, BI meminta
perbankan aktif bertransaksi di pasar keuangan selain PUAB. BI juga menginisiasi
mini master repurchase agreement (MRA) yang melibatkan delapan bank. Proyek
tersebut diharapkan memicu peningkatan transaksi repo antarbank sehingga
likuiditas perbankan lebih longgar. Meski begitu, bankir harus menyiapkan
strategi alternatif, seperti penerbitan obligasi untuk menjaga likuiditas di
2014.
Tantangan kedua yang tak kalah berat
adalah risiko kenaikan kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) akibat
kenaikan suku bunga kredit dan penurunan dana beli masyarakat. BI
memperkirakan, NPL tahun depan bisa mencapai 2,8%-3,1%. Per Oktober 2013, NPL
perbankan masih di level 1,9%. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI,
meminta perbankan meningkatkan biaya pencadangan alias provisi, mengantisipasi
dampak kenaikan kredit bermasalah. Bank juga harus meningkatkan rasio kecukupan
modal atau capital adequacy ratio (CAR) untuk memperkuat ketahanan permodalan
saat ekonomi melemah.
Achmad Baequni, Direktur Keuangan
Bank Rakyat Indonesia (BRI), mengakui ada potensi kenaikan NPL tahun depan
meski tidak besar. BRI telah mengantisipasi dengan selektif menyalurkan kredit.
"Bank harus mempelajari profil nasabah dan usaha mereka serta mengelola
penyaluran kredit untuk mengendalikan NPL," kata Parwati Surjaudaja,
Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Jadi, tahun depan bankir mesti lebih
berhati-hati.
Sumber :kontan